Oleh Rhenald Kasali
Tak dapat disangkal, guru merupakan sosok penting yang mengawal perubahan di awal abad XXI.
Guru berpikir jauh ke d epan, bukan terbelenggu ilmu masa lalu, sebab tak banyak orang yang melihat anak-anak telah hidup di sebuah peradaban yang berbeda dengannya. Sementara kurikulum baru yang belum tentu sempurna sudah dihujat, kaum muda mengatakan kurikulum lama sudah tidak relevan mengisi masa depan mereka.
Untuk pertama kali dalam sejarah, dunia kerja dan sekolah di- isi empat generasi sekaligus, generasi kertas-pensil, generasi komputer, generasi internet, dan generasi telepon pintar. Terjadi celah antargenerasi, ”tulis dan temui saya” (generasi kertas), ”telepon saja” (generasi komputer), ”kirim via surel” (generasi internet), tetapi generasi terbaru mengatakan, ”Cukup SMS saja”. Yang tua rapat dengan perjalanan dinas, yang muda pakai skype.
Generasi kertas bersekolah dalam sistem linier terpisah-pisah antarsubyek, sedangkan kaum muda belajar integratif, lingkungannya dinamis, bersenang- senang, dan multitasking. Sekolah bahkan tidak lagi memisahkan kelas (teori) dari lab.
Lewat studinya, The Institute for the Future, University of Phoenix (2012), menemukan, kaum muda akan mengalami usia lanjut yang mengubah peta belajar dan karier. Mereka pensiun di usia 70 tahun, harus terbiasa dalam budaya belajar seumur hidup dan merawat otaknya. Generasi yang terakses jaringan TI bisa lebih cepat dari orangtuanya merencanakan masa depan. Pandangan mereka sama sekali bertentangan dengan celoteh kaum tua di media massa atau suara sumbang yang menentang pembaruan. Ketika guru kolot yang baru belajar Facebook mengagung-agungkan Wikipedia, kaum muda sudah menjelajahi literatur terbaru di kampus Google.
Saat orang tua berpikir kuliah di fakultas tradisional (hukum, ekonomi, kedokteran), generasi baru mengeksploitasi ilmu masa depan (TI kreatif, manajemen ketel cerdas, atau perdapuran kreatif). Cita-citanya menjadi koki, perancang busana, atau profesi independen lain. Ketika geologiman generasi kertas menambang di perut bumi, mereka merancang robot-robot raksasa untuk menambang di meteor. Bila eksekutif tua rindu diterima di Harvard, generasi baru pilih The Culinary Institute of America.
Bahasa dan fisika
Sulit bagi generasi kertas menerima pendidikan yang integratif. Bagi kami, fisika dan bahasa adalah dua subyek terpisah, beda guru dan keahlian. Satu otak kiri, satunya otak kanan. Kita mengerti karena dibesarkan dalam rancang belajar elemen, bukan integratif. Dengan cara lama itu, bingkai berpikir kita bahasa diajarkan sarjana sastra, fisika diajarkan orang MIPA. Dari model sekolah itu wajar kebanyakan aktuaris kurang senyum, ilmunya sangat serius, matematika. Namun, saat meluncurkan program MM Aktuaria minggu lalu, saya bertemu direktur aktuaria sebuah perusahaan asuransi lulusan Kanada yang punya hobi melukis dan mudah senyum. Mengapa di sini orang pintar susah senyum?
Sewaktu mengambil program doktor, saya menyaksikan Gary Stanley Becker (Nobelis Ekonomi, 1992) menurunkan rumus matematika Teori Ekonomi Kawin-Cerai dengan bahasa yang indah. Mendengarkan kuliahnya, saya bisa melihat dengan jelas mengapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa membuat keluarga-keluarga Indonesia berevolusi menjadi orangtua tunggal.
Rendahnya komunikasi dan pengambilan putusan dalam pen- didikan dasar jelas akan membu- at generasi baru kesulitan meraih pintu masa depannya. Di Jepang, seorang kandidat doktor asal Indonesia digugurkan komite penguji bukan karena kurang pandai, melainkan buruk bahasanya. Ia hanya pakai bahasa jari dengan kalimat ”from this, and then this …, this…, this…, and proof”. Waktu saya tanya, para penguji berkata, ”Sahabatku, tanpa bahasa yang baik, orang ini tak bisa ke mana-mana. Ia harus belajar berbahasa kembali.”
Tanpa kemampuan integratif, kemampuan kuantitatif, anak- anak pintar Indonesia tak akan mencapai impiannya. Jadi, kurikulum mutlak harus diperbaiki. Jangan hanya ngomel atau saling menyalahkan. Ini saat mengawal perubahan. Namun, catatan saya, Indonesia butuh life skills, yakni keterampilan melihat multiperspektif untuk menjaga persatuan dalam keberagaman, assertiveness untuk buang sifat agresif, dan asal omong dalam berdemokrasi. Indonesia butuh mental yang tumbuh, jiwa positif memulai cara-cara baru, keterampilan berpikir kritis melawan mitos, dan metode pengajaran yang menyemangati, bukan budaya menghukum dan bikin bingung.
Inilah saat guru dan orangtua berubah. Dimulai dari kesadaran, dunia baru beda dengan dunia kita. Cara berpikir kita harus bisa mengawal anak-anak jadi pemenang di akhir abad XXI dengan rentang usia jauh lebih panjang.
RHENALD KASALI, Guru Besar FE UI
Sumber Kompas.com
Copy paste dari Kompas.com
Comments
Post a Comment